Kamis, 25 April 2024
  • (0473) 21001
  • dp2pa@luwuutarakab.go.id

KESETARAAN GENDER

KESETARAAN GENDER gender equality


Apa itu gender? gender adalah perbedaan peran, fungsi, dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang merupakan hasil konstruksi sosial dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman. Istilah gender ini pertama kali dikemukakan oleh para ilmuan sosial, mereka bermaksud untuk menjelaskan perbedaan laki-laki dan perempuan yang mempunyai sifat bawaan (ciptaan Tuhan) dan bentukan budaya (konstruksi sosial). Banyak orang mengartikan atau mencampuri ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati (tidak berubah) dengan non-kodrati (gender) yang bisa berubah dan diubah sepanjang zaman. Perbedaan gender ini pun menjelaskan orang berfikir kembali tentang peran mereka yang sudah melekat, baik pada laki-laki maupun perempuan.


Keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia dipelopori oleh RA Kartini sejak tahun 1908. Perjuangan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan khususnya dalam bidang pendidikan dimulai oleh RA Kartini sebagai wujud perlawanan atas ketidak adilan terhadap kaum perempuan pada masa itu. Dalam perjalanan selanjutnya, semangat perjuangan RA Kartni ditindak lanjuti pada tangal 22 Desember 1928 oleh Kongres Perempuan Indonesia yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Ibu.


Pada Era Orde Baru (Orba), pada tahun 1978 dibentuk Kementrian Urusan Peranan Wanita dalam kabinet. Kegiatan Pembinaan Kesejahteran Keluarga (PKK) dibentuk sejak 1957 sebagai organisasi mandiri dan diselipkan di bawah asuhan Mentri Dalam negeri. Ideologinya adalah “Panca Dharma Wanita” artinya perempuan sebagai pendamping suami, ibu pendidik anak, pengatur rumah tangga, sebagai pekerja penambah penghasilan keluarga, dan sebaai angota masyarakat yang berguna. 


Pada masa ini muncul jargon “Kemitrasejajaran Perempuan dan Laki-laki” yang tercantum dalam wacana “Peran Wanita Dalam Pembangunan” dalam setiap replita ore baru. Ini menandakan bahwa keadilan dan kesetaraan gender pada masa ini menunjukkan suatu keberhasilan, namun kebijakan tersebut menimbulkan efek yang lebih berat pada perempuan Indonesia berupa beban ganda.


Selanjutnya, sekitar tahun 1970-1980an, benih-benih gerakan perempuan kontemporer mulai bersemi di kalangan menengah intelektual, dikenal dengan sebutan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau Non-Goverment Organization (NGO). Kalangan ini mulai menjalin kontak dan memperluas lingkup gerakan hingga ke tingkat internasional.


Meskipun sudah banyak upaya dan perjuangan dalam meningkatkan kesetaraan dan keadila gender, namun konisi kesenjangan gender masih saja dijumpai. Perjuangan untuk meningkatkan kualitas perempuan serta menegakkan kesetaraan gender di era orde baru agak tenggelam. Kemudian pada periode Habibie, dibentuk Komisi Nasional Perlindungan Kekerasan terhadap Perempuan yang dikenal dengan Komnas Permpuan pada tahun 1999 lewat Instruksi Presiden. Ini merupakan jawaban atas tuntutan sejumlah tokoh perempuan kepada Presiden Habibie pada waktu itu. 


Dalam perkembangannya sampai sekarang, lembaga tersebut banyak berperan sebagai lembaga yang aktif memasyarakatkan pengakuan atas hak-hak perempuan sebagai Hak Asasi Manusia (HAM).


Selanjutnya dalam periode kepemimpian Presiden Abdurrahman Wahid, dikeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 2000 tentang Program Pengarusutamaan Gender (PUG). Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan mulai gencar mengemukakan kampanye isu kesetaraan dan keadilan gender (KKG).


Sejarh perjuangan kesetaraan dan kedilan gender tidak berhenti sampai di situ saja, pada masa kepemimpinan Megawati Suekarno, Kementrian Negara Pemberdaya an Perempuan tetap melanjutkan Inpres No. 9 Tahun 2000 dengan fokus perhatian utama pada partisipasi perempuan dalam kehidupan publik dan jabatan politk-strtegs. Ini terbukti dengan adanya tuntutan kuota kursi legislatif sebanyak 30 persen untuk calon perempuan dan disetujui dalam Undang-undang Pemilhan Umum yang baru pada Pasal 65. Kemudian pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudoyono dan Wakil Presiden Yusuf Kalla mengangkat 4 orang perempuan dalam kabinetnya.


Jadi kesetaran dan keadilan gender tidak muncul begitu saja, melainkan dari zaman kolonial sudah muncul sosok perempuan (RA Kartini) yang mempeloporinya sehingga sampai sekarang antara laki-laki dan perempuan memiliki peran yang sama dalam berbagai aspek kehidupan namun tidak terepas dari konteks cara pandang harus tetap disesuaikan dengan “kodrat perempuan”.


Dalam kehidupan sekarang tidak jarang kesetaraan dan keadilan gender sering menjadi masalah sosial, tidak pelak kesetaraan gender dijadikan sebagai alasan laki-laki (suami) untuk tidak memenuhi kewajibannya kepada perempuan (istri). Contohnya saja dalam mencari nafkah, tidak sedikit perempuan bekerja banting tulang layaknya laki-laki untuk mencukupi kehidupan keluarga sedangkan suami seakan-akan lepas tanggung jawab terhadap istri dan anknya. Hal yang demikian sesungguhnya adalah masalah gender yang tidak wajar, karena sesungguhnya kesetaraan gender yang dimaksud adalah harus tetap memperhatikan “kodrat perempuan”.


Di Indonesia masih banyak hambatan dalam pendekatan  kesetaraan gender, kenapa? karena adanya peraturan perundang-undangan yang diskriminatif, perlindungan hukum yang dirasakan masih kurang, dan adanya budaya (adat istiadat) yang biasakan gender.  Contoh ketidakadilan gender atau diskriminasi gender yaitu kurangnya pemahaman masyarakat  akan  akibat dari adanya  sistem struktur sosial  dimana salah satu jenis (laki-laki maupun perempuan) menjadi korban. Kesetaraan gender merupakan salah satu hak asasi manusia. Hak untuk hidup secara terhormat, bebas dari rasa ketakutan dan bebas menentukan pilihan hidup. Tidak  hanya diperuntukan bagi para laki-laki, pada hakikatnya perempuan pun mempunyai hak yang sama. Namun, sampai saat ini perempuan sering dianggap sebagai sosok pelengkap.Ketidakadilan gender ini sering terjadi dalam keluarga dan masyarakat, bahkan dalam dunia pekerjaan pun terjadi diskriminatif atau ketidakadilan gender dalam berbagai bentuk, yaitu:


1.       Stereotip/Citra Baku, yaitu pelabelan terhadap salah satu jenis kelamin yang seringkali bersifat negatif dan pada umumnya menyebabkan terjadinya ketidakadilan.Misalnya, karena perempuan dianggap ramah, lembut, rapi, maka lebih pantas bekerja sebagai sekretaris, guru Taman Kanak-kanak. Padahal disisi lain laki-laki pun bisa menjadi sekertaris tidak hanya perempuan saja.


2.       Subordinasi/Penomorduaan, yaitu adanya anggapan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih rendah atau dinomorduakan posisinya dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya.Contoh:  dari Sejak dulu, perempuan mengurus pekerjaan domestik sehingga perempuan dianggap sebagai “orang rumah” atau “teman yang ada di belakang”.


3.       Marginalisasi/Peminggiran, yaitu kondisi atau proses peminggiran terhadap salah satu jenis kelamin dari arus/pekerjaan utama yang berakibat kemiskinan. Misalnya, perkembangan teknologi menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang pada umumnya dikerjakan oleh laki-laki.


4.       Beban Ganda/Double Burden, yaitu adanya perlakuan terhadap salah satu jenis kelamin dimana yang bersangkutanbekerja jauh lebih banyak dibandingkan dengan jenis kelamin lainnya. Mengapa Beban Ganda bisa terjadi? Berbagai observasi menunjukkan bahwa perempuan mengerjakan hampir 90 persen dari pekerjaan dalam rumah tangga. Dan bagi perempuan yang bekerja di luar rumah, selain bekerja di wilayah publik, mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik dan sebagainya.


5.       Kekerasan/Violence, yaitu suatu serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang.sehingga kekerasan tersebut tidak hanya menyangkut fisik (perkosaan, pemukulan), tetapi juga nonfisik (pelecehan seksual, ancaman, paksaan, yang bisa terjadi di rumah tangga, tempat kerja, tempat-tempat umum.


Dalam melaksanakan pencapaian kesetaraan gender, perlu dilakukan  penyempurnaan perangkat hukum pidana dalam melindungi setiap individu dan ketersediaan data serta peningkatan partisipasi masyarakat. Sedangkan anggaran untuk pencapaian kesetaraan gender di daerah pun sudah jelas dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 132 tahun 2003 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG dalam Pembangunan di Daerah dan proses perencanaannya tercermin dalam RAPBD.


Untuk mengatasi hal tersebut maka diperlukan sosialisasi bahwasannya perempuan juga mempunyai hak untuk berkedudukan setara dengan laki-laki.Dan penting bagi perempuan untuk mengetahui sejauh mana mereka dapat disetarakan dengan laki-laki. Karena untuk hal tertentu perempuan tidak bisa menduduki posisi laki-laki dalam menjaga kehormatan dan melindungi perempuan itu sendiri. Selain itu, memberikan hak yang sama dengan laki-laki, dengan tetap melindunginya akan menjadikan perempuan merasakan keadilannya sudah terpenuhi secara utuh. Maka keseimbangan kehidupan pun akan terwujud. Kesetaraan gender tidak harus dipandang sebagai hak dan kewajiban yang sama persis tanpa pertimbangan selanjutnya, Kesetaraan gender juga tidak diartikan segala sesuatunya harus mutlak sama dengan laki-laki. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara melakukan perubahan keputusan bagi dirinya sendiri tanpa harus di bebani konsep gender.